A. Pengertian Konstisional
Setiap Negara merdeka mempunyai konstitusi sebagai operasionalisasi
ideology negaranya. Seacara etimologi, istilah konstisional sangat beragam
dalam setiap kosakata bahasa disetiap Negara. Istilah konstitusi dalam bahasa
Inggris adalah “constitution” dan “constituer” dalam bahasa Perancis. Kedua
kata tersebut berasal dari Latin yaitu”constitution” yang berarti dasar susunan
badan.
Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi disebut dengan “grondwet” yang
terdiri dari kata grond berarti dasar dan kata wet berarti undang-undang
dan dalam bahasa Jerman istilah konstitusi disebut “verfassung”. Dalam praktek
ketatanegaraan pengertia konstitusi pada umumnya memiliki dua arti yaitu :
- Praktek ketatanegaraan Republik Indonesia dengan disebutnya UUD RIS 1945 dengan istilah Konstitusi RIS 1949. Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil represensatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh disetiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan konstitusi mempunyai arti yang lebih luas dari pada UUD.
- Konstitusi meliputi UUD (konstitusi tertulis) dan kenvensi (konstitusi tidak tertulis). Dengan demikian dapat dikatakan UUD termasuk ke dalam bagian konstitusi.
- Konstitusi memiliki arti yang sama dengan UUD 1945. Pengertian yang kedua ini pernah diberlakukan dalam aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan “basic rights” dan konstitusi itu sendiri. Dengan demikian UUD 1945, merupakan konstitusi berbangsa dan bernegara Indonesia adalah aturan hukum tertinggi yang keberadaannya dilandasi legitimasi kedaulatan rakyat dan Negara hukum. Oleh karena itu UUD 1945 dipandang sebagai bentuk kesepakatan bersama (general agreement) diseluruh rakyat Indonesia yang memiliki kedaulatan. Hal itu sekaligus membawa konsekuensi bahwa UUD 1945 merupakan aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatur bagaimana kedaulatan rakyat akan dilaksanakan. Inilah yang secara teoretis disebut dengan supremasi konstitusi sebagai salah satu prinsip utama tegaknya Negara hukum yang demokratis.
Berkaitan dengan hal itu, Solly Lubis (1978:48-49) mengemukakan bahwa UUD
adalah sumber utama dari norma-norma hukum tata Negara. UUD 1945 mengatur
bentuk dan susunan Negara, alat-alat perlengkapannya dipusat dan daerah,
mengatur tugas-tugas alat-alat perlengkapan itu serta hubungan satu sama lain.
Di sisi lain, harus diingat bahwa selain aturan-aturan dasar UUD 1945 juga
memuat tujuan nasional sebagai cita-cita kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945.
Antara tujuan nasional dengan aturan-aturan dasar tersebut merupakan satu
kesatuan jalan dan tujuan. Agar tiap-tiap tujuan nasional dapat tercapai,
pelaksanaan aturan-aturan dasar konstitusi dalam praktek kehidupan berbangsa
dan bernegara menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Selain itu, dalam
sebuah konstitusi juga terkandung hak dan kewajiban dari setiap warga Negara.
Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dengan pengertian agar selalu
benar-benar dilaksanakan. Sesuai dengan salah satu pengertian Negara hukum,
dimana setiap tindakan penyelenggaraan Negara serta warga Negara harus
dilakaukan berdasarkan didalam kolidaor hukum, maka yang harus mengawal
konstitusi adalah segenap penyelenggara dan seluruh warga Negara dengan cara
menjalankan wewenang, hak, dan kewajiban konstitusionalnya.
Apabila setiap pejabat penyelenggaraan Negara telah memahami UUD 1945
serta melaksanakan wewenangnya berdasarkan UUD 1945, setiap produk hukum,
kebijakan, dan tindakan yang dihasilkan adalah bentuk pelaksanaan UUD 1945. Hal
itu harus diimbangi dengan pelaksanaan oleh seluruh warga Negara. Untuk itu
dibutuhkan adanyakesadaran berkonstitusi warga Negara, tidak saja untuk melaksanakan
peraturan perundang - undangan dan kebijakan yang telah dibuat berdasarkan UUD
1945, tetapi juga untuk dapat melakukan kontrol pelaksanaan UUD 1945, baik
dalam bentuk perundang-undangan, kebijakan, maupun tindakan penyelenggara
Negara.
Apa sebenarnya kesadaran berkonstitusi itu? Kesadaran berkonstitusi
secara konseptual diartikan sebagai kualitas pribadi seseorang yang memancarkan
wawasan, sikap, dan prilaku yang bermuatan cita-cita dan komitmen luhur
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Kesadaran berkonstitusi merupakan salah
satu bentuk keinsafan dan kesadaran moral warga Negara akan pentingnya
mengimplementasi nilai-nilai konstitusi.
B.
Bentuk Kesadaran
Berkonstitusi
Sebagai bagian dari kesadaran moral, dan kesadaran konstitusi mempunyai
tiga unsur pokok yaitu:
- Persaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan bermoral yang sesuai dengan konstitusi Negara itu ada dan terjadi didalam setiap sanubari warga Negara, siapapun, dimanapun dan kapanpun.
- Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku umum, lagi pula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan. Dengan demikian kesadaran berkonstitusi merupakan hal yang bersifat rasioanal dan dapat dinyatakan pula sebagai hal objektif yang dapat diuniversalkan, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap warga Negara.
- Kebebasan atas kesadaran moralnya, warga Negara bebas untuk mentaati berbagai peraturan perudang-undangan yang berlaku di negaranya termasuk ketentuan konstitusi Negara. Kesadaran berkonstitusi warga Negara memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat setiap warga Negara dalam melaksanakan ketentuan konstitusi Negara. Tingkatan-tingkatan tersebut jika dikaitkan dengan tingkatan kesadaran menurut N.Y Bull (Djahiri, 1985:24), yaitu:
ü Kesadaran yang bersifat
anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi Negara yang tidak
jelas dasar dan alasan atau orientasinya.
ü Kesadaran yang bersifat
heteronomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi Negara yang
berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti.
ü Kesadaran yang berfifat
sosionomous. Yaitu kesadaran atau kepatuhan terhadap ketentuan konstitusi
Negara yang berorientasikan pada kiprah umum atau ramai.
ü Kesadaran yang bersifat
autonomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi Negara yang
didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam diri seorang warga Negara. Ini
merupakan tingkatan kesadaran yang paling tinggi. Warga Negara yang yang
memiliki kemelekkan terhadap konstitusi (constitusional literacy).
ü Barkaitan dengan hal
tersebut Toni Massaro (dalam Brok Thomas,1996:637) menyatakan bahwa kemelekkan
terhadap konstitusi akan mengarahkan warga Negara untuk berpartisipasi
melaksanakan kewajibannya sebagai warga Negara.
Oleh karena itu, Winataputra (2007) mengidenfikasi beberapa bentuk
kesadaran berkonstitusi bagi warga Negara Indonesia yang meliputi:
Ø Kesadaran dan kesediaan
untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia sebagai hak azasi bangsa
dengan perwujudan perilaku sehari-hari antaralain: Belajar/bekerja keras untuk
menjadi manusia Indonesia yang berkualitas, siap membela Negara sesuai dengan
kapasitas dan kualitas pribadi masing-masing, dan rela berkorban untuk
Indonesia.
Ø Kesadaran dan pengakuan
bahwa kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa, sebagai rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: Selalu bersyukur,
tidak arogan, dan selalu berdo’a kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Ø Kepekaan dan ketanggapan
terhadap kewajiban pemerintah Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah indonesia dengan perwujudan perilaku sehari-hari
antara lain: bersikap kritis, skeptic, dan adaptif terhadap kebijakan public
perlindungan Negara.
Ø Kepekaan dan ketanggapan
terhadap kewajiban pemerintah Negara untuk memajukan kesejahteraan umum dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptic, dan
adaptif terhadap kebijakan public perlindungan Negara.
Ø Kepekaan dan ketanggapan
pemerintah Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan perwujudan
perilaku sehari-hari antara lain: kritis, skeptic, dan adaptif terhadap
kebijakan public pencerdasan kehidupan bangsa.
Ø Kepekaan dan ketanggapan
terhadap kewajiban pemerintah Negara yang melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social dengan
perwujudan perilku sehari-hari antara lain: kritis, skeptic, dan adaptif
terhadap kebijakan public hubungan luar negeri Indonesia.
Ø Kumauan untuk selalu
memperkuat keimanan dan ketakwaan terhadap Tuha Yang Maha Esa dengan perwujudan
perilaku sehari-hari antara lain: menjalan ibadah social menurut keyakinan
agamanya masing-masing dalam konteks toleransi antar umat beragama.
Ø Kemauan untuk
bersama-sama dalam membangun persatuan da kesatuan bangsa dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap tidak primordialistik,
berjiwa kemitraan pluralistic, dan bekerja sama secara professional dan
lain-lain.
Berbagai bentuk kesadaran berkonstitusi warga Negara sebagai man
diuraikan di atas dapat terwujud jika didukung oleh berbagai factor yang
mendorong terciptanya warga Negara yang sadar berkonstitusi, salah satunya
adalah dengan pendidikan berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan
berkonstitusi merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk
menciptakan warga Negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi. Rasionalisasi
Implementasi Pendidikan Kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan
Kewarganegaraan.
Dalam hidup bernegara, kita dapat menemukan beberapa aturan yang mengatur
bagaimana pemerintahan dijalankan. Misalnya, siapa yang menjalankan kekuasaan
pemerintahan dan bagaimana kekuasaan tersebut diperoleh. Selain itu, kita
juga dapat menemukn beberapa aturan yang sama sekali tidak berhubungan dengan
cara-cara pemerintahan dijalankan. Misalnya bagaimana aturan mengendarai
kendaraan sepeda motor dijalan raya dan bagaimana cara mencari keadilan jika
hak dilanggar orang lain. Pada saat kita menemukan aturan atau hukum yang
berisi ketentuan yang mengatur bagaimana pemerintahan dijalankan, artinya kita
telah menemukan bagian dari konstitusi.
Konstitusi adalah seperangkat aturan atau hukum yang berisi ketentuan
tentang bagaimana pemerintah diatur dan dijalankan. Oleh karena aturan atau
hukum yang terdapat dalam konstitusi itu mengatur hal-hal yang amat mendasar
dari suatu Negara. Konstitusi dikatakan pula sebagaia hukum dasar yang
dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu Negara. Karena kedudukan yang
sangat penting, konstitusi harus dipahami oleh seluruh warga Negara Persoalan
yang terjadi di Indonesia saat ini yang ada kaitannya dengan pemahaman warga
Negara terhadap konstitusi adalah semakin meluasnya materi muatan dalam UUD
1945 sebagai dampak dari dilakukannya perubahan konstitusi sebanyak empat kali.
Sebelum perubahan UUD 1945 berisi butir ketentuan. Setelah perubahan UUD
1945 berisi 199 butir ketentuan tersebut, naskah UUD 1945 yang masih asli tidak
mengalami perubahan hanya sebanyak 25 butir ketentuan (12%), sedangkan
selebihnya sebanyak 174 butir ketentuan (88%) merupakan materi baru. Hal
tersebut menyebabkan para digma pemikiran yang terkandung dalam nakah asli,
ketika UUD 1945 pertama kali disahkan tanggal Agustus 1945. Seandainya
semua warga Negara Indonesis sudah mengetahui seluruh isi UUD 1945 sebelum
perubahan, sebenarnya pada saat sekarang ini hanya mengetahui 25 butir
ketentuan dari UUD 1945, sedangkan 174 butir masih banyak belum dimengerti.
Itulah sebabnya perlu upaya sungguh-sungguh untuk melakukan pendidikan
kesadaran berkonstitusi (Budimansyah dan Suryadi). Sekaitan dengan hal diatas,
pendidikan kesadaran berskonstitusi merupakan hal terpenting yang harus
dioptimalka untuk menciptakan warganegara yang memiliki kesadaran
berkonstitusi. Hal tersebut pada hakekatnya sudah digariskan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Misalnya, dalam usulan
BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan bahwa Pendidikan dan pengajaran
harus membimbing murid-murid menjadi warga Negara yang mempunyai rasa tanggung
jawab, yang kemudian oleh Kementerian PPK dirumuskan dalam tujuan pendidikan,
untuk mendidik warga Negara yang sejatih yang bersedia menyumbangkan tenaga dan
pikiran untuk Negara dan masyarakat.
Selanjutnya dalam UU Nomor 4 Tahun 1950, dalam Bab II Pasal 3, dirumuskan
secara lebih eksplisit menjadi : membentuk susila yang bagus dan warga Negara
yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat
ditanah air dan dalam UU Nomor 12 Tahun 1954 yang dilengkapi dengan keputusan
Presiden RI Nomor 145 Tahun 1965 dan rumusannya diubah menjadi : ”melahirkan
warganegara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaraannya masyarakat
sosiolis Indonesia, adil dan makmur, baik dari segi spiritual maupun materil
dan mengembangkan manusia Indonesis seutuhnya, yang ciri - cirinya dirinci
menjadi “beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4 UU No. 2/1989).
Dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 3, digariskan
dengan tegas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwah kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dengan kata
lain sejak tahun1945 sampai sekarang instrument perundangan sudah menempatkan
pendidikan kesadaran berkonstitusi sebagai bagian integral dari pendidikan
nasional.
Dalam tatanan instrumentasi kurikuler secara historis dalam kurikulum
sekolah terdapatmata pelajaran yang secara khusus mengembang misi pendidikan
berkonstitusi, yakni mata pelajaran Civics (kurikulum 1957/1962), Pendidikan
Kemasyarakatan yang merupakan Integrasi Sejarah, Ilmu Bumi, dan Kewarganegaraan
(kurikulum 1964), Pendidikan Kewarganegaraan, yang merupakan perpaduan
Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia, dan Civics (Kurikulum 1968/1969), Pendidikan
Kewarganegaraan dan Civics dan Hukum (1973), Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
(Kurikulum 1975 dan 1984), dan pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
( Kurikulum 1994). Sedangkan perguruan tinggi pernah ad mata kuliah Manipol dan
USDEK, Pancasila dan UUD 1945, (1960-an), kemudianFilsafat Pancasila
(1970-1980-an), dan Pendidikan Pancasila (1980-1990-an). Dalam MP/MK tersebut
baik secara tersurat maupun tersirat terdapat materi tentang pendidikan
berkonstitusi.
Sementara itu dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai paket
penataran P-4 (sejak tahun 1970-an s/d 1990-an), yang juga mengandung tujuan
dan menteri pendidikan berkonstitusi. Dalam pasal 37 UU RI Nomor 20 Tahun 2003
tentqng Sisdiknas, dinyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan, yang merupakan
wahana pokok pendidikan kesadaran berkonstiusi, merupakan salah satu muatan wajib
kurikulum pendidikan tinggi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, pendidikan kewarganegaraan mempunyai
peranan yang strategis dalam mengimplementasikan pendidikan kesadaran
berkonstitusi. Hal ini dikarenkan salah satu misi pendidikan kewarganegaraan
adalah sebagai pendidikan politik, yakni membina siswa untuk memahami hak dan
kewajibannya sebagai warga masyarkat dan warga Negara, termasuk didalamnya
memahami konstitusi. Selain itu, materi muatan konstitusi seperti organisasi
Negara, hak-hak azasi manusia, cita-cita rakyat, dan asas-asas ideology Negara
sangan relevan untuk memperkaya menteri pendidikan kewarganegaraan.
Oleh karena itu, umtuk mengoptimalkan peran pendidikan kewarganegaraan
tersebut, diperlukan upaya untuk memperkuat konsep pendidikan kewarganegaraan
sebagai media pendidikan kesadaran berkonstitusi. Berkaitan hal tersebut,
Winaputra (2007) mengemukakan beberapa asumsi mengenai perlunya penguatan
konsep mengnai kedudukan pendidikan kewarga negaraan sebagai media pendidikan
berkonstitusi, diantaranya:
- Komitme nasional untuk memfungsikan pendidikan sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, (Pasal 3 UU RI 20 2003) memerlukan wahana psiko-pedagogis (pengembangan potensi peserta didik disekolah) dan sosio-andragogis (fasilitas pemberdayaan pemuda dan orang dewasa dalam masyarakat) yang memungkinkan terjadinya proses belajar berdemokrasi sepanjang hayat dalam konteks kehidupan berkonstitusi.
- Transformasi demokrasi dalam kehidupan berkonstitusi, Indonesia memerlukan konsepsi yang diyakini benar dan bermakna yang didukung dengan sarana pendidikan yang tepat sasaran, tepat strategis, dan tepat konteks agar setiap individu warga Negara mampu memerankan dirinya sebagai warga Negara yang sadar akan konstitusi, cerdas, demokratis, berwatak, dan berkeadaban.
- Pendidikan berkonstitusi yang dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam konteks pendidikan formal, nonformal, dan informal, selama ini belum mencapai sasaran optimal dalam mengembangkan masyarakat yang cerdas, baik, berwatak, dan berkeadaban. Untuk itu diperlukan upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan model pendidikan berkonstitusi yang secara teoritis dan empiris valid, dan secara kontekstual hadal, dan aksep table untuk kehidupan demokrasi di Indonesia.
- Secara psiko-pedagogis dan sosio-andragogis, pendidikan berkonstitusi yang dianggap paling tepat adalah pendidikan untuk mengembangka kewarganegaraan yang demokratis (education for democratic citizenship), yang didalam mewadahi pendidikan tentang, melalui, dan untuk membangun demokrasi konstitusional (education about, through, and for democracy).
- Untuk mendapatkan model pendidikan berkonstitusi dalam rangka pendidikan kewarganegaraan yang secara psiko-pedagogis dan secara sosio-andragogis aksep table dan handal, diperlukan upaya untuk mengkaji kekuatan konteks, kehandalan masukan, dan proses guna menghasilkan perilaku warga Negara Indonesia yang sadar dan hidup berkonstitusi UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah, D dan Suryadi,
K. (2008). PKn dan masyrakat Multikultural. bandung: Program studi PKn SPs UPI.
Djahiri, AK. (1985).
Riyanto, A. (2000). UU RI
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
0 komentar:
Posting Komentar